|
|
|
|
|
|
|
Pulau Bali sering dijuluki dengan berbagai-bagai
nama oleh wisatawan, di antaranya disebut "Bali,
the island of the thousand temples" artinya
Bali adalah pulau dengan ribuan buah pura. Kadangkala
disebut pula dengan nama pulau dewata atau "the
island of Gods" dari beberapa julukan
lain yang menarik. Dalam kenyataan memang terlihat
banyak pura di Bali dan tersebar di seluruh daerah
Bali.
Menurut keadaan tahun 1979 tercatat jumlah pura
di Bali 5.259 buah yang terdiri dari 9 buah Kahyangan
jagat Bali, Dang
Kahyangan 714 buah, Kahyangan
Tiga 4.368 buah. Jumlah tersebut tidak termasuk
tempat suci pemujaan roh suci leluhur yang disebut
Pura Kawitan atau Padadyan.
Adanya banyak pura di Bali bukan lah berarti umat
Hindu di Indonesia menganut kepercayaan politeistik,
melainkan tetap monoteistik karena yang di-stanakan
di Pura itu adalah prabawa Hyang Widi sesuai dengan
fungsinya.
Kata pura berasal dari kata Sanskerta yang berarti
kota atau benteng, artinya tempat yang dibuat khusus
dengan dipagari tembok untuk mengadakan kontak dengan
kekuatan suci. Tempat khusus ini di Bali disebut
dengan nama pura yang berfungsi sebagai tempat suci
untuk pemujaan Hyang Widi beserta manifestasinya
dan roh suci leluhur.
Berdasarkan bukti-bukti prasasti yang ditemukan
di Bali, kata pura untuk menamai tempat suci belum
ditemukan pada jaman Bali Kuna. Pada prasasti Turunyan
AI tahun 891M disebutkan Sanghyang Turun-hyang artinya
tempat suci di Turunyan. Demikian pula di dalam
prasasti Pura Kehen A disebutkan pujaan kepada Hyang
Karimana, Hyang Api, dan Hyang Tanda. Artinya tempat
suci untuk Dewa Karimana, tempat suci untuk Dewa
Api dan tempat suci untuk Dewa Tanda. Dan penjelasan
prasasti tersebut diketahui bahwa pada jaman Bali
Kuna yang berlangsung dari kurun waktu tahun 800
- 1343 M dipakai kata Hyang untuk menyebut tempat
suci di Bali.
Pada jaman Bali Kuna dalam arti sebelum kedatangan
Sri Kresna Kepakisan di Bali, istana raja disebut
Kedaton atau Keraton. Sedangkan pada masa pemerintahan
Sri Kresna Kepakisan terlihat sebutan istana raja
bukan lagi disebut kedaton melainkan disebut pura
seperti keraton Dalem di Gelgel Swecapura dan keratonnya
di Klungkung disebut Smarapura. Rupa-rupanya menggunakan
kata pura untuk menyebutkan suatu tempat suci dipakai
setelah dinasti Dalem berkraton di Klungkung, di
samping istilah Kahyangan masih dipakai.
Kendati pun sebagai tempat pemujaan Hyang Widi,
tidak lah merupakan tempat yang permanen dari kekuatan
suci, tetapi lebih bersifat sebagai persimpangan
atau tempat tinggal sementara, di mana pada waktu
hari ulangtahun pura, kekuatan suci akan datang
menempati pelinggih- pelinggih yang sudah disediakan
di dalam suatu pura. Ketika inilah diadakan kontak
antara anggota masyarakat pengemongnya dengan kekuatan
suci yang baru turun. Sebagai media menurunkan kekuatan
suci tadi ialah pedanda atau pendeta dengan wedanya,
selain berbagai-bagai jenis tarian dan upacara sebagai
penyambutan turunnya kekuatan suci.
Tempat yang abadi dari para Dewa dan roh suci leluhur
adalah di gunung, dalam hal ini gunung Maha meru
dan kalau di Bali adalah Gunung Agung. Akhirnya
timbul anggapan, gunung sebagai alam arwah dan juga
sebagai alam para dewa. Anggapan akan adanya gunung
suci dalam agama Hindu dapat disaksikan pada cerita-cerita
kuna yang dikaitkan dengan gunung seperti ceritera
pemutaran gunung Mandara di Ksirarnawa yang bertujuan
untuk mencari Amerta atau air kehidupan. Ceritera
yang kedua ialah ceritera Tantu Panggelaran yang
mengisahkan pemindahan puncak Gunung Mandara ke
Jawa Dwipa yang ketika itu masih dalam keadaan belum
stabil. Kepercayaan gunung sebagai alam arwah telah
ada jauh sebelum pengaruh Hindu datang ke Indonesia,
yaitu pada jaman bercocoktanam dan perundagian.
Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya tempat pemujaan
arwah leluhur yang berbentuk punden berundakundak
yang diduga sebagai replika (bentuk tiruan) dari
gunung, karena gunung pada masa itu dianggap sebagai
alam arwah.
Ketika upacara sedang berlangsung umat akan merasa
kehadiran yang Maha suci dan menimbulkan rasa sebagai
kedatangan tamu suci yang dimuliakan. Timbul lah
rasa untuk memberikan rasa bakti atau penghormatan
setinggi-tingginya, guna mendapatkan anugrah-Nya,
berupa kesejahteraan, perlindungan dan kebahagiaan
hidupnya. Hal ini merupakan sumber yang menggetarkan
jiwanya dan akhirnya menjadi sumber bangkitnya rasa
estetika dari umat. Sebagai akibat rasa estetik
lalu diikuti dengan ciptaan- ciptaan seninya dalam
berbagai-bagai bentuk seperti: seni tari, tabuh,
pahat, lukis dan lain-lainnya.
Demikian lah kelihatan hubungan yang erat antara
kebudayaan dan agama, tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lainnya, dan ini akhirnya dapat dilihat
di pura-pura terutama pada piodalan yang penuh dengan
hiasan yang serba indah dan cemerlang. Di sini lah
terlihat dengan jelas bahwa perkembangan seni di
Bali mencari akarnya pada agama.
Dari sekian banyak pura yang tersebar di daerah
Bali dengan pengertian sebagai tempat suci untuk
memuja Hyang Widi dan para roh suci leluhur dapat
dikelompokkan berdasarkan fungsinya dan karakter
sebagai berikut
-
Pura yang fungsinya sebagai
tempat suci untuk memuja Hyang Widi dan para Dewa
seperti Pura Kahyangan Tiga dan Pura Kahyangan
jagat.
-
Pura yang berfungsi sebagai
tempat suci untuk memuja roh suci seperti Paibon
atau Dadia, Padarman.
Pengelompokan berdasarkan ciri, yang antara lain
diketahui atas dasar penyiwi atau kelompok masyarakat
pemuja. Penyiwi terkelompok di dalam berbagai jenis
ikatan seperti: ikatan sosial, ekonomi, genealogis
(garis keturunan), Ikatan sosial antara lain berdasarkan
ikatan wilayah tempat tinggal (teritorial), ikatan
pengakuan jasa seorang guru suci (Dang Guru). Ikatan
ekonomis antara lain dibedakan atas dasar kepentingan
sistem mata pencaharian seperti bertani, berdagang,
nelayan dan lain-lainnya. Ikatan genealogis adalah
atas dasar garis kelahiran.
Berdasarkan atas ciri-ciri tersebut di atas maka
terdapat beberapa kelompok pura di Bali sebagai
berikut:
a. Pura Umum. |
Pura ini mempunyai ciri
umum sebagai tempat pemujaan Hyang Widi dengan
segala prabawanya (Dewa). Pura yang tergolong
umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga
sering disebut Kahyangan Jagat. Pura-pura
yang tergolong mempunyai ciri - ciri tersebut
adalah Pura
Besakih, Pura
Batur dan Pura Sad Kahyangan lainnya.
Pura lainnya, yang tergolong pura umum adalah
pura yang fungsinya sebagai tempat pemujaan
untuk memuja kebesaran atau jasa guru suci
atau Dang Guru. Pura ini dipuja oleh seluruh
umat Hindu yang merasa berhutang jasa kepada
Dan Guru atas dasar ajaran agama Hindu yang
telah diberikan. Pura-pura yang tergolong
ke dalam karakter yang disebut Dang Kahyangan
seperti: Pura Purancak, Pura
Rambutsiwi, Pura
Pulaki, Pura
Ponjok Batu, Pura
Silayukti, Pura
Kentelgumi dan lain-lainnya. Pura-pura
tersebut di atas berkaitan dengan Dharma Yatra
yang dilakukan oleh Dang Hyang Nirartha dan
Empu Kuturan karena peranannya sebagai Dang
Guru.
Pura-pura lain yang tergolong umum juga yaitu
pura yang dihubungkan dengan pura tempat pemujaan
dan kerajaan yang pernah ada di Bali seperti
Pura
Taman Ayun, yang merupakan Pura Kerajaan
Mengwi, Pura
Dasar Gelgel merupakan pura Kerajaan Gelgel
dan lain-lainnya. |
b. Pura Teritorial. |
Pura ini mempunyai ciri
kesatuan wilayah sebagai tempat pemujaan suatu
desa adat. Ciri khas suatu desa adat pada
dasarnya memiliki tiga buah pura yang disebut
Kahyangan Tiga yaitu: Pura
Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem. Nama-nama
Kahyangan Tiga tampaknya juga bervariasi seperti
pada beberapa desa di Bali, Pura Desa sering
disebut Pura Bale Agung, Pura Puseh sering
disebut Pura Segara, bahkan Pura Puseh desa
Besakih disebut Pura Banua. |
c. Pura
Fungsional. |
Pura ini mempunyai karakter
fungsional karena umat penyiwinya terikat
oleh ikatan kekaryaan seperti: mempunyai profesi
yang sama dalam sistem mata pencaharian hidup
seperti: bertani, berdagang, nelayan. Karena
bertani dalam mengolah tanah tidak dapat dipisahkan
dengan air, maka mereka mempunyai ikatan yang
disebut Pura Empelan
atau Pura Ulunsuwi atau Pura Subak.
Demikian pula berdagang merupakan satu sistem
mata pencaharian hidup menyebabkan adanya
ikatan pemujaan dalam wujud pura yang disebut
Pura Melanting.
Umumnya Pura Melanting didirikan di dalam
suatu pasar yang dipuja oleh para pedagang
dalam lingkungan pasar tersebut. |
d. Pura
Kawitan. |
Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan
oleh adanya ikatan wit atau asal leluhur
berdasarkan garis kelahiran (genealogis).
Suatu keluarga inti (ayah ibu dan anak-anak)
dalam istilah antropologi disebut keluarga
batih mempunyai tempat pemujaan yang disebut
Sanggah atau Pamerajan.
Kemudian apabila keluarga itu telah bertambah
banyak jumlahnya dan sudah ada yang keluar
dan rumah asal, maka tempat pemujaan keluarga
luas tersebut disebut Sanggah Gede atau
Pamerajan Agung.
Selanjutnya pada tingkat yang lebih luas
yaitu pada tingkat klen mempunyai tempat
pemujaan yang disebut pura Dadia, sehingga
mereka disebut tunggal dadia. Apabila klen
itu membesar lagi sehingga mencakup Jagat
Bali, maka mereka mempunyai tempat pemujaan
yang disebut Padarman,
biasanya terdapat di Pura Besakih, seperti
Padarman
Dalem, Padarman Arya Dauh, Padarman
Arya Kepakisan dan lain-lainnya.
Pemujaan roh suci leluhur di Bali bukannya
pengaruh dan India, tetapi telah ada jauh
sebelum pengaruh Hindu datang ke Indonesia.
Konsepsi keagamaan ini adalah unsur asli
Indonesia/Bali yang berkembang mulai jaman
neolitik ±2500SM dan berlanjut pada
jaman perunggu ±500SM. Untuk tempat
pemujaan arwah nenek moyang pada masa ini
didirikan lah bangunan teras piramid dan
menhir, sedangkan untuk pengekalan jasmaniahnya
dibuatkan peti kubur batu yang disebut sarkofagus.
Bukti-bukti peninggalan arkeologi ini banyak
ditemukan di Bali terutama di desa-desa
pegunungan seperti Desa Selulung di Kintamani,
desa Sembiran, Tenganan Pagringsingan dan
lain-lainnya.
Setelah kebudayaan Hindu mempengaruhi
Indonesia, maka terjadilah perpaduan konsepsi
keagamaan yaitu pemujaan roh suci leluhur
yang disebut Batara unsur asli Indonesia
atau Bali dan pemujaan Dewa pengaruh dari
India.
Akhirnya kedua konsepsi keagamaan ini berdampingan
satu dengan yang lainnya. Hal ini jelas
tampak pada pura-pura di Bali di mana terdapat
tempat pemujaan untuk Hyang Widi yang disebut
Padmasana dan tempat pemujaan untuk Batara
yang disebut: Sanggah Kemulan, Gedong Pejenengan
dan Meru Padarman.
|
|
|
|
|
|
1. Pengertian |
Secara etimologi kata Kahyangan Tiga terdiri
dari dua kata yaitu kahyangan dan tiga. Kahyangan
berasal dari kata hyang yang berarti suci mendapat
awalan ka dan akhiran an, an menunjukkan tempat
dan tiga artinya tiga. Arti selengkapnya adalah
tiga buah tempat suci, yaitu Pura Desa atau
disebut pula Pura Bale Agung, Pura Puseh dan
yang ketiga adalah Pura Dalem.
Kahyangan Tiga terdapat pada setiap desa Adat
di Bali. Apabila jumlah desa Adat di Bali 1456
buah, maka jumlah Pura Kahyangan Tiga akan menjadi
tiga kali jumlah desa Adat sehingga menjadi
4368 buah pura. Pada beberapa desa adat di Bali
kadang kala penempatan Pura Puseh digabungkan
dengan Pura Desa sehingga tampaknya seperti
hanya satu pura tetapi sebetulnya adalah tetap
dua buah pura.
Desa adat sebagai lembaga sosial tradisional
adalah pengelompokan sosial berdasarkan kesatuan
teritorial ditandai mereka bertempat tinggal
dalam wilayah yang sama, mempunyai tugas dalam
kegiatan gotong royong dan melaksanakan tugas
pasukadukaan. Pengelompokan yang lain berdasarkan
genealogis seperti apa yang disebut tunggal
kawitan, tunggal sanggah, pengelompokan sosial
yang disebut sisya yang didasarkan atas siapa
yang dijadikan pimpinan di dalam suatu upacara
keagamaan. Lembaga sosial tradisional yang lain
adalah subak (kesatuan petani yang sawahnya
menerima air dari satu sumber irigasi yang sama),
dan sekaha (kesatuan sukarela). Keseluruhan
lembaga tradisional tadi sangat fungsional bagi
upaya pelestarian dan penyelarasan kebudayaan
Bali yang dibangun atas dasar landasan konsepsi
Trihita
Karana (tiga penyebab kesejahteraan hidup)
yaitu parhyangan = tempat pemujaan, pawongan
= manusia, dan pelemahan = wilayah.
Kahyangan Tiga merupakan salah satu unsur
dari Trihita Karana yaitu unsur parhyangan dari
setiap desa adat di Bali. Pada Kahyangan Tiga
masyarakat desa memohon keselamatan dan kesejahteraan
untuk desa dan masyarakatnya. Unsur yang ke
dua dan tiga dari Trihita Karana disebut dengan
pelemahan dan pawongan. Dengan demikian maka
di dalam mewujudkan rasa aman, tentram, sejahtera
lahir batin dalam kehidupan desa adat berlandaskan
tiga hubungan harmonis yaitu hubungan manusia
dengan alam atau hubungan krama desa dengan
wilayah desa adat, hubungan manusia yang satu
dengan manusia yang lainnya dalam desa adat
dan hubungan krama desa dengan Hyang Widi sebagai
pelindung. Inilah yang dinamakan Trihita Karana
dalam desa adat di Bali.
Dengan tercakupnya unsur ketuhanan dalam kehidupan
desa adat di Bali, maka desa adat di Bali mencakup
pula pengertian sosio-religius. Maka dari itu
perpaduan antara adat dengan agama Hindu di
Bali adalah erat sekali sehingga sulit memisahkan
secara tegas unsur-unsur adat dengan unsur agama,
karena adat-istiadat di Bali dijiwai oleh agama
Hindu dan aktivitas agama Hindu didukung oleh
adat istiadat di masyarakat.
|
2. Sejarah. |
Membicarakan masalah sejarah
pendirian Kahyangan Tiga pada setiap desa adat
di Bali, belum diketahui dengan pasti, karena
sumber tertulis yang menyebutkan secara jelas
belum ditemukan. Tetapi besar kemungkinan pada
jaman Bali Kuna ketiga pura tersebut telah ada
di tengah-tengah masyarakat Bali karena dipakai
kata Kahyangan untuk menyebut pura tersebut.
Di dalam prasasti-prasasti Bali Kuna belum ditemukan
kata Pura untuk menyebut tempat suci tetapi
yang dipakai adalah kata hyang atau kahyangan.
Sebelum masa pemerintahan
raja suami-istri Udayana dan Gunapriya Darmapatni
tahun 989 -1011M di Bali berkembang banyak aliran-aliran
keagamaan seperti: Pasupata, Bairawa, Wesnawa,
Boda, Brahmana, Resi, Sora, Ganapatya dan Siwa
Sidanta. Di antara penasehat pemerintahan Udayana,
tersebut nama Senapati Kuturan di samping sebagai
ketua Majelis Pusat Pemerintahan yang disebut
"Pakiran-kiran i jro makabehan".
Empu Kuturan sebagai seorang
senapati dan ahli dalam masalah keagamaan, berhasil
dalam menanamkan pengertian di bidang keagamaan
dan menyempurnakan sistem kemasyarakatan di
Bali. Dalam karangannya Purana Tatwa, Dewa Tatwa,
Widisastra, memberikan pelajaran tentang sejarah
para Pendeta, Dewa-dewa dan bagaimana caranya
memuja Dewa-dewa, dan caranya membangun pura
dengan pedagingannya.
Seorang sarjana Belanda yang
lama tinggal di Bali yakni Dr. R. Cons mengatakan
kecerdasan Empu Kuturan sebagai seorang filosof
besar dan negarawan yang bijaksana. Dalam lontar
Raja Purana menyebutkan usaha Empu Kuturan untuk
membangun tempat-tempat suci beserta upacaranya
sebagai berikut:
Ngaran
Dewa ring kahyangan pewangunan Empu
Kuturan kapastikan saking Pura Silayukti,
muwang ngewangun seraya karya, ngadegang
raja purana, mwang nangun karya ngenteg
linggih batara ring Bali, kaprateka
antuk sira Empu Kuturan, Ngeraris nangun
catur agama, catur lokika bhasa, catur
gila, mekadi ngewangun Sanggah Kamulan,
ngewangun Kahyangan Tiga, Pura Desa,
Puseh mwang Dalem. |
terjemahan: |
Adapun
Dewa di Kahyangan diciptakan atau dibangun
oleh Empu Kuturan, direncanakan dari
Pura Silayukti dan menyelenggarakan
segala pekerjaan sehubungan dengan pembangunan
pura-pura kahyangan jagat, demikian
pula mengadakan pemelaspasan dan mengisi
pedagingan linggih batara-batari di
Bali diatur oleh Empu Kuturan. Selanjutnya
dibuat peraturan agama, empat cara-cara
berbahasa, empat ajaran pokok dalam
kesusilaan dan lima tatwa agama, seperti
mengajar membuat sanggah Kemulan, Kahyangan
Tiga, Pura Desa, Puseh dan Dalem. |
Sehubungan dengan pembangunan tempat-tempat
suci, oleh Empu Kuturan, babad Gajah Mada menyebutkan
sebagai berikut:
Sira
to Empu Kuturan sang sida moksah ring
Silayukti sira to urnara marahing tumitahing
Bali Aga, sira nggawe paryangan pengastawan
kabuyutan, ibu, dadia, ring Bali Aga
kabeh, apan Bali gung guna sucaya.
|
Terjemahan: |
Beliau
Empu Kuturan yang moksa di Silayukti,
dia yang mengajarkan membuat pemujaan
di Bali, termasuk tempat suci pemujaan
untuk roh suci leluhur paibon/ dadia,
sehingga Bali menjadi jaya dan sejahtera. |
Adanya banyak aliran-aliran di Bali menimbulkan
perbedaan kepercayaan di masyarakat sehingga
sering menimbulkan pertentangan dan perbedaan
pendapat di antara aliran yang satu dengan yang
lainnya. Akibat adanya pertentangan ini membawa
pengaruh buruk terhadap jalannya roda pemerintahan
kerajaan dan mengganggu kehidupan masyarakat.
Menyadari keadaan yang demikian
itu maka raja Udayana menugaskan Empu Kuturan
untuk mengadakan pasamuhan (pertemuan) para
tokoh- tokoh agama di Bali. Pasamuhan para tokoh
agama itu bertempat di Desa Bedahulu Kabupaten
Gianyar.
Pertemuan para tokoh-tokoh
agama dari berbagai aliran yang ada di Bali
berhasil menetapkan dasar keagamaan yang disebut
Tri Murti yang berarti tiga perwujudan dari
Hyang Widi yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan
Dewa Siwa. Tempat pasamuhan yang menghasilkan
dasar keagamaan Tri Murti disebut Samuan Tiga
di mana sekarang berdiri Pura
Samuan Tiga di Desa Bedahulu. Pada pura
ini tersimpan banyak peninggalan purbakala seperti
lingga, Arca Ganesa, Arca Durga, arca perwujudan
batara- batari.
Tiga kekuatan di atas yang
merupakan prabawa Hyang Widi dapat dirasakan
dan dialami dalam kehidupan di dunia ini sebagai
suatu siklus yaitu: lahir, hidup dan mati. Demikian
seterusnya berputar sebagai suatu lingkaran
yang tiada terputus sepanjang jaman, karena
ia kodrat alam dan hukum Tuhan. Ketiga kodrat
alam ini disebut tri kona (segi tiga). Kesaktian
untuk menciptakan (utpati), kesaktian untuk
memelihara (stiti) dan kesaktian untuk mengembalikan
kepada asalnya (pralina) merupakan tiga sifat
yang mutlak dan diwujudkan dengan dewa Tri Murti.
Di dalam Weda, Tri Murti berarti
tiga Dewa yaitu: Dewa Brahma, Wisnu dan Iswara
(Siwa), yang diwujudkan dengan:
- Aksara Ang melambangkan Dewa Brahma dengan
warna merah dan senjata Gada.
- Aksara Ung melambangkan Dewa Wisnu dengan
warna hitam dan senjata Cakra
- Aksara Mang melambangkan Dewa Siwa dengan
warna putih dan senjatanya Padma.
Ketiga aksara Ang Ung Mang
jika disatukan menjadi A U M. Dalam persenyawaan
suara huruf A dan U disandikan menjadi 0 sehingga
AUM menjadi Om, yaitu lambang aksara Hyang Widi.
Dari uraian tersebut di atas
dapat diperkirakan bahwa Kahyangan Tiga pada
setiap Desa Adat di Bali dirintis oleh Mpu Kuturan
ketika pemerintahan raja suami istri Udayana
dan Gunapriya Darmapatni pada abad 10M. Perkiraan
ini diperkuat dengan adanya ungkapan dalam babad
Pasek yang menyebutkan demikian:
Nguni
duk pemadegan sira cri Gunapriya Darmapatni
Udayana Warmadewa, hana pesamuan agung
ciwa Budha kalawan Bali Aga, ya etunya
hana desa pakraman mwang Kahyangan Tiga
maka kraman ikang desa para desa Bali
Aga. |
Terjemahan: |
Dahulu
tatkala bertahtanya Çri Gunapriya
Darmapatni dan suaminya Udayana, ada
musyawarah besar Çiwa Buddha
dengan pihak Bali Aga, itulah asal mulanya
ada desa pekraman dan Kahyangan Tiga
sebagai tatanan kehidupan dari masing-masing
desa Bali Aga. |
Dan uraian di atas dapat diduga
bahwa pengelompokan masyarakat ketika itu disebut
desa pakraman dan dalam perkembangannya mengalami
perubahan yang akhirnya disebut desa adat yang
dilengkapi dengan peraturan-peraturan yang disebut
Awig-awig.
Awig-awig ini mempunyai kedudukan
sebagai stabilisator yang mengatur kegiatan
dan aspek kehidupan masyarakat. Tujuannya ialah
agar suasana kehidupan desa menjadi tetap terpelihara
secara serasi dan harmonis dengan ketertiban
yang mantap.
Keserasian dan keharmonisan
kehidupan masyarakat dapat diukur dengan sistem
cara berpikir yang lugu dan tidak mengadakan
perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Dengan
cara berpikir yang demikian itu akan melahirkan
suasana senasib sepenanggungan yang lebih dikenal
dengan istilah suka duka sebagai salah satu
warisan budaya yang tak ternilai harganya.
|
3. Fungsi |
Untuk lebih memantapkan
dan memasyarakatkan konsepsi Tri Murti yang
telah disepakati sebagai dasar keagamaan di
Bali, maka pada setiap desa adat didirikan Kahyangan
tiga. Ketiga Kahyangan tersebut adalah:
a. |
Pura Desa |
tempat pemujaan Dewa Brahma dalam fungsinya
sebagai pencipta alam semesta. |
b. |
Pura Puseh |
tempat pemujaan Dewa Wisnu dalam fungsinya
sebagai pemelihara. |
c. |
Pura Dalem |
tempat memuja Dewa Siwa dalam wujud
Dewi Durga dengan fungsi sebagai pemralina
alam semesta. |
Di samping Pura Kahyangan Tiga yang dimiliki
oleh tiap-tiap desa, maka setiap pekarangan
rumah orang Bali yang beragama Hindu didirikan
tempat beribadat yang disebut "Sanggah"
atau "Pamerajan". Perkataan Sanggah
berasal dari sanggar yang berarti tempat suci,
karena perubahan huruf dari r menjadi h maka
menjadi Sanggah. Secara etimologi adalah berasal
dari kata sa dan angga (sa berarti satu dan
angga berarti badan). Jadi berarti satu badan
atau penunggalan suksma sarira dengan stela
sarira atau penunggalan rohani dan jasmani untuk
dapat memusatkan pikiran ke hadapan Hyang Widi,
melalui roh suci leluhur. Sedangkan kata Pamerajan
berasal dari kata pa yang menunjukkan tempat
dan mara berarti dekat dan ja dari kata jati,
yang berarti lahir. Jadi arti dari Pamerajan
adalah tempat mendekatkan diri pada asal kelahiran.
Bangunan suci di Sanggah yang
berfungsi untuk pemujaan roh suci leluhur adalah
Kamulan. Secara etimologi kata kamulan berasal
dari kata mula yang berarti asal dan mendapat
awalan ka dan akhiran an yang menunjukkan tempat,
sehingga berarti tempat asal yaitu leluhur.
Bentuknya adalah sebagai gedong
tetapi di dalamnya dibagi atas tiga ruang yaitu
ruang tengah, ruang samping kanan dan ruang
samping kiri. Mengenai fungsi masing-masing
ruang adalah sebagai berikut:
- ruang samping kanan adalah pemujaan untuk
purusa atau bapanta
- ruang samping kiri untuk pradana atau
ibunta
- ruang di tengah adalah untuk raganta atau
Siwatma.
Pertemuan antara purusa dan
pradana menghasilkan ciptaan di mana di dalamnya
terdapat unsur kekuatan yang disebut atma. Pelaksanaan
puja di Sanggah Kamulan disebut: Guru Stawa,
dan dijelaskan puji-pujian kepada roh suci,
atau disebut guru rupaka. Mantramnya sebagai
berikut:
- Om dewa-dewa tri devanam, tri
murti linggatmanam tri purusa
sudha-nityam, sarvajagat jiwatmanam.
- Om guru dewa, guru rupam, guru
padyam, guru purvam, guru pantaram
devam, guru dewa suddha nityam.
|
Terjemahan bebasnya: |
-
Ya Tuhan,
para dewa dari tiga dewa, tri
murti tiga perwujudan simbul Siwa,
Paramasiwa, Sadasiwa dan Siwa,
suci selalu, nyawa dari alam semesta.
-
Ya Tuhan, gurunya
dari Dewa, Gurunya batara-batari,
junjungan guru permulaan, guru
perantara dewa-dewa, gurunya dewa
yang selamanya suci.
|
Konsepsi Tri Murti tampak
pula tercermin di Pura Besakih sebagai Pura
Sad Kahyangan Bali. Di sini jelas tampak kehadiran
tiga buah pura yang besar yang penempatannya
berjajar tiga dari Utara ke Selatan. Pura yang
paling selatan adalah Pura
Kiduling Kreteg, sebagai stana Dewa Brahma.
Pura
Penataran Agung terletak di tengah stana
Dewa Siwa dengan tiga kemahakuasaan yang disebut
tri purusa yaitu Paramasiwa, Sadasiwa dan Siwa
dan Pura
Batu Madeg di sebelah Utara sebagai stana
Dewa Wisnu. Stana pemujaan Dewa Siwa di Penataran
Agung berbentuk Padma Tiga dan stana pemujaan
Dewa Brahma dan Dewa Wisnu berbentuk Meru bertingkat
sebelas. Apabila ketiga pura tersebut di atas;
pura Kiduling Kreteg, Penataran Agung dan Batu
Madeg ditambah dengan dua buah pura lagi yaitu
Pura
Gelap dan Pura
Ulun Kulkul masing-masing sebagai penjaga
arah mata angin Timur dan Barat maka lengkap
lah penerapan konsep Catur Lokapala. Pura Gelap
tempat memuja Dewa Iswara dan Pura Ulun Kulkul
tempat memuja Dewa Mahadewa.
Kahyangan Tiga yang merupakan
unsur parhyangan dari Trihita
Karana, penempatannya pada desa adat diatur
sebagai berikut:
Pura Desa biasanya dibangun
di tengah-tengah pada salah satu sudut dari
Caturpata atau perempatan agung. Pada sudut
yang lain terdapat bale wantilan (bale desa)
rumah pejabat desa, pasar dengan Pura Melanting.
Pura Puseh dibangun pada bagian
arah selatan dari desa yang mengarah ke pantai
karena itu Pura Puseh sering disebut Pura Segara
di Bali Utara.
Pura Dalem dibangun mengarah
ke arah barat daya dari desa karena arah barat
daya adalah arah mata angin yang dikuasai oleh
Dewa Rudra yaitu aspek Siwa yang berfungsi mempralina
segala yang hidup. |
|
|
|
|
|
|