|
Pada tahun 1992 I
Ketut Suteja, dosen STSI Denpasar, menampilkan sebuah
garapan tari kontemporer yang diberi nama Ngelawang.
Tari ini banyak diilhami oleh tari Barong
Ket yang tidak asing lagi bagi masyarakat Bali. Ngelawang
(dari kata lawang yang artinya pintu) adalah sebuah istilah
dalam bahasa Bali yang berarti pertunjukan yang berpindah-pindah
dari satu rumah ke rumah lain, atau dari satu desa ke desa
yang lain. Pertunjukan seperti ini biasa dilakukan pada
waktu hari - hari raya
besar seperti Galungan
dan Kuningan. Di tempat-tempat tertentu ngelawang
juga diadakan apabila disuatu desa terjadi wabah penyakit.
Dalam garapan ngelawangnya ini Suteja memasukan
ide yang kedua ngelawang untuk mengusir roh-roh jahat. Dalam
garapan ini juga Suteja memasukan cukup banyak gerak-gerak
baru yang penuh vitalitas dan memakai gamelan Balaganjur
untuk mengiringi garapan ini. Ngelawang ditarikan oleh 8
orang penari yang terdiri dari 4 orang penari putra dan
4 orang penari putri. Di dalam tarian ini ditampilkan 2
buah barong buntut (hanya bagian depan dari barong
ket) dan sebuah punggalan (topeng) barong ket.
Oleh karena begitu dominannya bentuk barong di dalam garapan
ini, maka garapan ini juga disebut sebagai "Barong
Ngelawang".
Sejak tahun 1992 para pencipta tari di
Bali telah berhasil menciptakan beberapa karya penting walaupun
pementasannya mungkin hanya dilakukan satu kali. Di antara
garapan - garapan tari Kontemporer yang dimaksud adalah
Cak Seni Rupa Lata Mahosadhi (1995) dan Ruwatan
Bumi (1997), kedua hasil karya Nyoman Erawan,
dan Ram-wana : ketika Rama menjadi Rahwana
(1999) karya I
Wayan Dibia. Garapan-garapan ini menawarkan beberapa
hal baru yang terlihat dalam tema, elemen pertunjukannya
dan tata pementasannya. Cak Seni Rupa Erawan menyajikan
tafsiran baru terhadap kisah Lata Mahosadhi dan permainan
warna-warna cair. Ruwatan Bumi menawarkan tema ruwatan
diri yang dilakukan terhadap penciptanya sendiri (Erawan)
yang digundul dalam pertunjukan ini. Ram-wana menawarkan
interpretasi baru terhadap kisah Ramayana yang disesuaikan
dengan kondisi sosial politik pada tahun 1999. Dalam karya
Erawan dan Dibia ini dilibatkan pembacaan
puisi dan seni rupa instalasi di alam terbuka.
|