I Wayan Pamit --
Bahasa Bali tak akan Pernah Mati
I Wayan Pamit adalah pensiunan guru SD
asal Kayumas Kelod (Denpasar) yang tampil bersahaja. Di
balik kesahajaan itu, jiwa Wayan Pamit ibarat "samudera
sastra yang mahadalam". Bukan saja karena menguasai
sekitar 200 metrum kidung dan macapat, tetapi lebih karena
dia telah menulis lima buah kakawin, yaitu Kakawin Rahwana
(2 jilid), Nila Candra, Candra Buana, dan Candra Bairawa.
Semuanya sudah diterbitkan 2003 kecuali yang terakhir dalam
proses cetak. "Ketika ke Karangasem, saya disapa seseorang
yang sudah memiliki kakawin saya," katanya.
Seperti halnya karya-karya lain, kakawin
ciptaan Wayan Pamit pun akan diselami bagi peminat sastra
untuk mendapatkan nilai-nilai agama dan keindahan. Atas
karyanya itu dan pengabdiannya pada dunia gegitaan, Wayan
Pamit dianugerahkan penghargaan Dharma Kusuma oleh Pemprop
Bali, 14 Agustus lalu, sebagai seniman sastra atau sastrawan.
Apakah Anda tahu alasan, mengapa Anda mendapat
penghargaan?
Saya tak tahu. Saya ditelepon oleh pegawai
Dinas Kebudayaan. Mereka mengabarkan bahwa saya akan dapat
penghargaan Dharma Kusuma. Lalu, saya disuruh menyiapkan
foto. Saya terpaksa sore itu bikin pasfoto. Ketika datang,
pegawai Dinas Kebudayaan datang dan menegaskan bahwa ada
suwecan Widhi (anugerah Tuhan). Siapa yang mengusulkan saya
mendapat penghargaan, apa alasannya, saya tidak tahu.
Perasaan Anda?
Saya merasa bangga dan heran, kok saya
bisa dapat. Mungkin ada orang lain mengusulkan. Tetapi,
pertanyaannya kok saya dapat? Apakah saya pantas? Apakah
saya ini sastrawan? Apa kriteria seseorang itu untuk disebut
sastrawan? Begitu dalam hati saya bertanya. Sebelumnya memang
saya pernah dapat penghargaan Kerthi Budaya dari Pemerintah
Kota Denpasar.
Anda banyak dikenal sebagai pembina gegitaan
di seluruh Bali. Bisa ceritakan kegiatan itu?
Tugas-tugas pembinaan sudah saya lakukan
sejak dulu, akhir 1970-an. Ketika saya masih menjadi guru,
saya mendapat tugas membina guru-guru pengajar gegitaan.
Lalu, membina kelompok pesantian yang disiapkan mengikuti
utsawa dharma gita. Belakangan kami membina ke kabupaten-kabupaten,
bersama Widya Sabha yang diketuai oleh Bapak Nengah Medera.
Kami terus keliling, seperti ke Buleleng, Karangasem, Negara.
Dalam pembinaan yang dilakukan Departemen Agama, saya juga
dilibatkan, terutama untuk memberikan materi tentang kidung.
Apakah pembinaan itu efektif?
Peserta antusias mengikuti. Ada saja yang
mereka tanyakan. Kami rutin tiap tahun membina ke kabupaten.
Namun, saya pernah mengusulkan agar para peserta yang disuruh
datang ke Denpasar untuk dibina. Sebab, pengalaman sebagai
guru dalam mengajar, tak akan mungkin rasanya berhasil membina
kalau kita datang sekali ke kabupaten. Selain membina, saya
juga sering dilibatkan menjadi anggota juri lomba gegitaan,
mawirama.
Sejak kapan Anda menekuni dunia makidung,
mawirama, dan sastra Bali klasik?
Sejak saya berusia sekitar tujuh tahun.
Dulu ayah saya seorang pelatih kidung, seperti wargasari.
Dia meninggal ketika saya berusia tujuh tahun. Saya baru
mulai tertarik, tetapi ayah meninggal sekitar tahun 1942.
Ayah meninggal karena sakit. Keluarga kami miskin sehingga
tak bisa mengajak dia berobat. Yang bisa berobat ke rumah
sakit waktu itu hanya kalangan priyayi.
Setelah ayah Anda meninggal, Anda belajar
makidung di mana?
Saya tidak belajar, tetapi hanya menonton
orang makidung atau mabebasan di Jero Batur, Kayumas. Dulu
tidak ada kelompok pesantian di banjar-banjar. Yang menjadi
pusat pesantian hanya jero dan puri. Selain Jero Batur,
yang juga terkenal sebagai tempat mabebasan adalah Jero
Gerenceng, Denpasar. Yang aktif makidung adalah orang dewasa.
Sebagai anak kecil, saya hanya menonton.
Apakah waktu itu, anak-anak banyak menyukai
gegitaan?
Tidak. Dewasa ini justru lebih banyak.
Dulu tidak. Apalagi dulu pemerintah tidak memberikan perhatian
dan dorongan sama sekali. Setelah tahun 1966, barulah mulai
muncul kelompok pesantian di banjar-banjar. Sebelum itu,
apalagi menjelang Gestok (G 30 S/PKI), tak banyak orang
senang makidung. Waktu itu saya sudah menjadi guru, saya
banyak mengajarkan kidung di sekolah dasar.
Di sela kesibukan makidung, tampaknya Anda
banyak mencipta. Sejak kapan Anda mulai menulis? Karya Anda,
apa saja?
Pertama kali saya menulis tahun 1970-an,
yaitu jenis gaguritan. Judulnya "Gaguritan Buana Mabah",
"Gaguritan Bagawan Agastia Prana", "Geguritan
Raja Peni", "Gaguritan Calon Arang Kasuksman".
Ini yang agak aneh. Lain dengan "Calon Arang"
biasa. Yang biasa dimulai dari diusirnya Ratna Mengali sehingga
Ibunya (Calon Arang) marah. Yang tiang ungkapkan berbeda,
justru mulai sebelum Ibunya lahir. Ini saya tulis berdasarkan
dua sumber lontar, yakni dari Geriya Taman Punggul dan lontar
dari dalang Mandra, dari Sibang, yang dikenal sebagai dalang
leak. Kami sering saling mengunjungi.
Sudah berapa gaguritan Anda tulis?
Saya tidak menghitung. Arsip saya juga
entah ke mana. Kalau diperkirakan, jumlah gaguritan yang
saya tulis kira-kira 10 judul, tak sampai 20 judul. Kalau
kidung saya juga menulis, tapi saya tidak pernah mencatat
berapa. Ada orang dari Bangli minta diciptakan kidung untuk
ngelawang (pentas barong keliling). Kidung ini kan tidak
ada, maka saya berpikir untuk mencari makna ngelawang. Setelah
itu barulah tiang ciptakan kidungnya. Banyak lagi permintaan
menciptakan kidung lain, seperti kidung untuk upacara melasti
dan untuk upacara petik daun beringin.
Inspirasi karya-karya itu dari mana?
"Gaguritan Calon Arang" itu
dasarnya lontar. Kalau kakawin, kidung, itu tidak semuanya
lontar. Kidung kebanyakan timbul dari ide sendiri.
Apa perbedaan antara kidung, kakawin, dan
geguritan?
Perbedaan ketiga itu pertama adalah perbedaan
suara. Semua gegitaan itu memakai sumber suara. Gaguritan
atau macapat itu letak suara di ujung lidah (tuntungan lidah)
atau suara lambe. Kidung, sebagai sekar madya, sumber suaranya
di tengah-tengah lidah (madyaning lidah). Kalau kakawin
letak suara itu di atas pangkal lidah. Palawakia sama dengan
suara kakawin. Suara seloka atau sruthi ini suara dalam
di pangkal lidah, lebih di bawah dari kakawin.
Perbedaan lainnya?
Jenis suara. Ada empat jenis suara, yaitu
hrswa, dirgha, pluta, dan wilat. Hrswa itu suara pendek,
dirgha diucapkan dengan panjang, kalau pluta itu suara bergelombang-berombak
atau naik-turun, kalau wilat itu ada pada kidung dan geguritan.
Geguritan paling banyak punya wilat karena paling bebas.
Orang yang panjang napasnya bisa membuat wilat yang panjang.
Apakah masalah suara ini diajarkan dalam
pembinaan?
Ya. Dalam pembinaan-pembinaan, kami biasanya
memberikan penekanan pada laras suara atau reng-nya. Tentang
alunan atau ombak atau wilat suara, terserah kreativitas
masing-masing. Jadi, pembinaan bukan berarti penyeragaman.
Dasar yang baik untuk pengajaran gegitaan,
apa sebenarnya?
Pengenalan suara yang penting pertama.
Orang harus tahu dari mana asal suara untuk gegitaan apa?
Seperti di Karangasem, kidung sudah baik, tetapi kenapa
suaranya tidak baik. Saya amati ternyata suaranya hanya
dari mulut. Belum bisa keras. Makanya tiang beritahukan
bagaimana mengeluarkan suara yang baik dan mengatur napas.
Apa hambatan belajar gegitaan?
Sebetulnya kalau kakawin hambatannya adalah
aksara Bali. Banyak pemula yang belajar memakai teks gaguritan
atau kakawin huruf Latin. Kelemahan dengan huruf Latin adalah
sulit untuk mengenal guru-laghu-nya.
Sebaiknya waktu belajar tidak memakai teks
huruf Latin?
Bukan begitu. Kalau memang tidak mengenal
huruf Bali lalu disuruh membaca jelas tidak bisa. Yang penting
mereka mau mulai belajar. Pak I Gusti Bagus Sugeriwa (ahli
sastra klasik, red) dulu juga mengajarkan demikian. Kakawin
yang beliau terbitkan seperti kakawin Arjuna Wiwaha, Sutosama,
memakai huruf huruf Latin di atas, huruf Bali di bawah.
Pokoknya, seperti pepatah "sambil menyelam minum air".
Melalui huruf Latin sambil mengenal aksara Bali dan guru-laghu.
Mengapa minat masyarakat terhadap gegitaan
bergairah sekarang?
Mungkin karena kesadaran beragama sudah
mulai bangkit karena adanya dharma wacana. Selain itu, gaguritan
banyak ditampilkan di televisi. Itu sangat mendorong saya
kira.
Apakah ada sebab lain?
Karena ada lomba-lomba. Dari dulu itu
sudah ada. Kalau banjar atau desa tak ikut lomba, mereka
malu, maka orang-orang desa terdorong belajar.
Kegiatan karena lomba biasanya hasilnya
tidak langgeng karena ada sedikit paksaan?
Memang pertama ada rasa terpaksa, tapi
setelah mereka merasakan indahnya, ada keinginan untuk meneruskan.
Kalau saya ke desa, saya menangkap kesan bahwa orang semangat
belajar. Kalau saya datang, mereka bertanya "bagaimana
kidung saya? Apanya yang perlu diperbaiki?". Pertanyaan
begitu rasanya bukan paksaan lagi, tapi sudah cermin kesadaran
untuk menguasai gegitaan.
Anda menekuni gegitaan sejak 1960 sampai
2000, kalau disuruh menyebutkan kapan gegitaan mengalami
masa jaya?
Tahun ini, terakhir-terakhir ini. Memang
dari dulu ada. Pada tragedi G. 30 S/PKI, gegitaan ini hampir
punah. Sekarang dengan adanya lomba-lomba, bangkit. Bagusnya,
anak-anak dan remaja disertakan.
Kini banyak anak-anak ikut lomba, apakah
ini alasan untuk mengatakan masa depan gegitaan akan baik?
Ya, tapi ada kalaunya, yaitu kalau pemerintah
masih tetap memberikan pembinaan. Katanya untuk tahun 2003
Utsawa Dharma Gita Propinsi tidak ada, katanya anggaran
kurang. Tahun 2004 baru akan ada lagi. Kalau pembinaan dan
lomba berkurang, masa depan itu akan suram.
Kini sudah ada TV, radio, apakah Anda pikir
peran pemerintah tetap penting?
Penting. Sayangnya, saya dengar, anggaran
pembinaan untuk ini masih rendah.
Anda mengatakan kegiatan gegitaan berkaitan
dengan agama?
Ya, terutama karena gegitaan digunakan
untuk mengiringi yadnya (ritual). Dalam samaweda diungkapkan
bahwa setiap yadnya harus diiringi gegitaan. Orang mulai
belajar seiring dengan bangkitnya kesadaran keagamaan.
Agama selalu berkaitan dengan moral dan
perilaku, banyak orang menekuni gegitaan, apakah berarti
perilaku masyarakat semakin baik?
Ini terbatas sekali. Yang tidak terkontrol
memang masih ada termasuk dari lingkungan kami, misalnya
minum-minum. Orang sudah tahu minuman-minuman keras itu
dampak negatifnya banyak. Saya sudah ajak mereka untuk makidung.
Kalau kita makidung, konsentrasi kita lain, akan lupa dengan
minum-minuman keras.
Sekarang masalah masa depan bahasa Bali.
Banyak yang pesimistik bahwa bahasa Bali akan mati. Pendapat
Anda?
Tak mungkin itu karena agama kita. Jadi,
selama ada agama Hindu, bahasa Bali akan hidup. Agama Hindu
dasarnya sastra. Sastra agama semua sumbernya huruf Bali.
Bagaimanakah perkembangan bahasa Bali dalam
setengah abad terakhir?
Kini baik sekali. Dulu, pada zaman tragedi
G.30 S/PKI bahasa Bali hampir hilang. Orang-orang berbahasa
Indonesia. Lebih bergengsi barangkali. Rapat-rapat di banjar-bajar
semua mengunakan bahasa Indonesia. Kini berubah. Masyarakat
mulai menggunakan bahasa Bali. Tak hanya rapat di banjar,
dalam pidato dan sambutan pun menggunakan bahasa Bali. Kalau
pemerintah terus mendorong dari belakang, bahasa Bali tak
akan pernah mati.
Bahasa Inggris mulai diajarkan di SD, bahasa
Bali terdesak?
Tergantung sekarang pembuat kurikulum.
Kalau si pembuat kurikulum tidak senang bahasa Bali, dia
tidak akan memberikan alokasi waktu. Dulu tahun 1947, 1948,
hampir tidak diajarkan huruf Bali. Sekarang sejak SD sudah
diajarkan huruf Bali. Kalau pemerintah ikut mempertahankan,
bahasa Bali akan berkembang.
Sebagai orang Bali, apa yang Anda rasakan
kalau gegitaan dan bahasa Bali berkembang terus?
Semakin senang. Kalau saya bepergian ke
mana-mana, lalu ada yang bertanya soal kakawin dan gegitaan,
saya senang itu tanda orang-orang sudah mulai mempelajari
dan ingin tahu.
* pewawancara: darma putra
BIODATA
Nama : |
I Wayan Pamit |
Tempat, tahun lahir : |
Kayumas Kelod, Denpasar, 1935 |
Pendidikan : |
SGA Singaraja (tamat Agustus 1958) |
Pekerjaan : |
Guru bantu SD Intaran, Sanur |
(Januari 1959-1965) |
Kepala Sekolah SD 1 Padangsambian |
(1966-1974) |
Kepala Sekolah SD 28, Denpasar |
(1974-1982) |
Kepala Sekolah SD 4 Dauhpuri,
Denpasar |
(1982-1989) |
Kepala Sekolah SD 23 Dauhpuri,
Denpasar |
(1989-1995) |
Pensiun |
per November 1995 |
|
Kegiatan kesenian : |
- Menulis naskah drama modern berbahasa Bali (1970-an)
- Menyutradari pementasan drama modern berbahasa
Bali
- Mengisi Mimbar Agama Hindu TVRI Denpasar (1980-an)
- Membina guru pengajar gegitaan se-Bali
- Membina kelompok gegitaan se-Bali
|
Karya Utama : |
- Kakawin Rahwana, dua jilid (tebal 453 halaman)
(terbit 2003)
- Nila Candra (121 halaman)
- Candra Banu (151halaman)
- Candra Bairawa ( sedang proses cetak).
|
Penghargaan : |
- Juara II lomba drama modern berbahasa Bali (1970-an,
beberapa
kali)
- Penghargaan Kerthi Budaya dari Pemkot Denpasar
- Penghargaan Dharma Kusuma Provinsi Bali (2003)
|
|