Sejarah pendirian Pura Samuantiga yang bersumber
dari data tertulis seperti halnya prasasti, prakempa, purana atau
pun babad sampai saat ini belum banyak diketemukan. Minimnya sumber
tertulis yang khususnya menguraikan tentang keberadaan Pura Samuantiga
mungkin disebabkan berbagai faktor antara lain: panjangnya perjalanan
waktu yang telah dilewati sehingga sangat memungkinkan adanya
data- data yang hilang. Di samping itu tradisi penulisan segala
sesuatu berkaitan dengan keberadaan suatu peristiwa atau pura
belum membudaya di masa lalu. Maka tidaklah berlebihan bila dalam
menelusuri kembali sejarah pura Samuantiga berbagai sumber data
penunjangnya sekecil apapun serta walaupun bersifat fragmentaris
masih relevan untuk dikaji.
Sebagai tonggak awal ada baiknya kita simak sejenak
isi lontar Tatwa Siwa Purana, khususnya lembar 11 yang berkaitan
dengan penyebutan pura Samuantiga antara lain disebutkan :
".......... Samalih sapamadeg idane
prabu Candrasangka, mangwangun pura saluwire : Penataran Sasih,
Samuantiga, hilen-hilen rikala aci, nampiyog nganten, siyat sampian,
sanghyang jaran nglamuk beha, mapalengkungan siyat pajeng, pendet,
hane bale pgat, pgat leteh".
>> Terjemahan bebasnya:
".......... Dan lagi semasa pemerintahan beliau Prabu Candrasangka,
membangun pura antara lain : Penataran Sasih, Samuantiga, tari-tarian
di saat upacara, nampiyog nganten, siyat sampian, sanghyang jaran
menginjak bara, mapalengkungan perang payung (pajeng) pendet dan
ada balai pegat penghapus ketidak sucian (leteh)".
Dari uraian lontar Tatwa Siwa Purana di atas
disebutkan bahwa pura Samuantiga dibangun pada masa pemerintahan
raja Candrasangka, Penulisan Lontar Tatwa Siwa Purana dan lontar-lontar
lainnya ini mungkin sebagai upaya penulisan kembali berbagai tradisi
kepercayaan sejarah lokal dan hal-hal lainnya. Kemungkinan itu
sangat besar karena bila kita telusuri dari kronologi pemerintahan
raja-raja di Bali, tidak ada raja yang bernama Candrasangka namun
yang ada adalah Candrabhayasingha Warmadewa disebutkan dalam prasastinya
yang sekarang tersimpan di pura Sakenan Manukaya Tampaksiring,
berisi tentang pembuatan telaga/pemandian suci yang disebut Tirta
di Air Hampul (Sutterheim,1929: 68-69).
Bila mana prabu Candrasangka seperti disebutkan
dalam lontar Tatwa Siwa Purana sama atau nama lain dari raja Candrasangka
Warmadewa seperti disebutkan dalam prasasti Manukaya yang berangka
tahun 962 masehi, maka dapatlah dikatakan bahwa pura Samuantiga
dibangun sejaman dengan pura Tirta Empul yaitu sekitar abad X.
Pembangunan pura Samuantiga pada abad X kiranya dalam rangka penerapan
konsepsi keagamaan pada masa Bali Kuna, seperti dikatakan R. Goris
dimana setiap kerajaan harus memiliki tiga pura utama yaitu Pura
Gunung, Pura Penataran dan Pura Segara/laut. Pura Tirta Empul
sebagai pura Gunungnya dan pura Samuantiga sebagai pura Penataran
yaitu pura yang berada di pusat kerajaan. Seperti dimaklumi para
ahli memperkirakan pusat pemerintahan pada masa Bali Kuna berada.
di sekitar Desa Bedulu karena banyak diketemukan tinggalan arkeologi
(arca-arca, tempat pertapaan) bahkan berlangsung sampai masa Majapahit
seperti disebutkan dalam Negarakertagama bahwa pusat pemerintahan
Bali berada di Badahulu dekat Lwah Gajah. Sehingga tidaklah berlebihan
bila diasumsikan bahwa pura Samuantiga pada abad X merupakan pura
Penataran dan kerajaan Bali Kuna yang berlokasi di pusat pemerintahan
yang dalam beberapa sumber lokal disebut Bata Anyar.
Dari uraian lontar Tatwa Siwa Purana tersebut
akan memunculkan pertanyaan, apakah nama Samuantiga itu merupakan
nama dari sejak berdirinya ?. Hal ini penting sekali karena pemberian
nama pada suatu hal menurut tradisi masyarakat Bali biasanya dihubungkan
dengan tujuan tertentu atau untuk memperingati suatu peristiwa
yang sangat bermakna dalam suatu proses kebidupan. Untuk menjawabnya
perlu disimak sejenak makna kata Samuatiga secara etimologi. Kata
Samuantiga terdiri dari perpaduan kata "Samuan" dan
"Tiga". Samuan berasal dari kata Samua berarti pertemuan
penyatuan, sangkep dan Tiga berarti atau menunjuk pada bilangan
tiga. Dengan demikian Samuantiga berarti pertemuan/penyatuan dari
tiga hal atau musyawarah segitiga (Soebandi 1983 : 62).
Untuk lebih jelasnya ada baiknya kita simak isi lontar Kutaca
Kanda Dewa Purana Bangsul, terutama pada bagian yang menguraikan
tentang Samuantiga sebagai berikut:
"........... Ri masa ika hana malih hakyangan
kang maka ngaran kahyangan Samuantiga, ika maka cihna mwah genah
ira kang para Dewa-Dewata Bhatara-Bhatari mwah kang para Resi
ika makabehan paum duking masa ika, kang ingaranan pura Samuantiga
ri mangke".
>> Terjemahannya:
.......... pada masa itu ada lagi kahyangan (tempat suci) yang
bernama Kahyangan Sarnuantiga, itu sebagai tanda dan tempat dimana
para Dewa dan Dewata, Bhatara-Bhatari dan lagi para Rsi (Pendeta)
seluruhnya rapat (musyawarah) pada masa itu dinamai pura Sarnuantiga
sampai sekarang".
Dari uraian lontar di atas, menunjukkan bahwa
pemberian. nama Sarnuantiga terkait dengan adanya suatu peristiwa
penting (ika maka cihna mwah genah) yaitu adanya musyawarah tokoh-tokoh
penting dalam suatu sistem pemerintahan pada masa Bali Kuna. Pelakaanaan
musyawarah tokoh-tokoh setitiga diperkirakan berlangsung pada
masa pemerintahan raja suami istri Udayana Warmadewa bersama permaisurinya
Gunapriyadharmapatni yang memerintah sekitar tahun 989 - 1011
masehi. Hal tersebut antara lain diseebutkan dalam Babad Pasek
sebagai beikut:
".........nguni duk pamadegan
Cri Gunapriyadharmapatni Udayana Warmadewa, hana pasamuan agung
Çiwa Budha kalawan Bali Aga, ya hetunya hana desa pakraman
mwang kahyangan tiga maka kraman ikang desa para desa Bali Aga".
~
>> Terjemahannya:
.........dahulu kala pada saat bertahtanya Çri Gunapriyadbarmapatni
dan suaminya Udayana Warmadewa, ada musyawarah besar Çiwa
Budha dan Bali Aga itulah asal mulanya (sebabnya) ada desa pekraman
dan Kahyangan Tiga sebagai tatanan kehidupan dan masing-masing
desa Bali Aga (Ardana, 1989: 11).
Dari uraian kedua lontar di atas menunjukkan
babwa pura Samuantiga merupakan tempat pertemuan dan musyawarah
tokoh- tokoh agama pada masa pemerintahan Gunapriyadharmapatni
dan Udayana yang berhasil memutuskan suatu kemufakatan untuk penerapan
konsepsi Tiri Murti melalui terbentuknya desa Pekraman dengan
Kahyangan Tiganya.
Suksesnya pelaksanaan musyawarab tokoh-tokoh
agama yang berhasil menyepakati suatu keputusan yang bersifat
monumental bagi perkembangan agama Hindu di Bali, secara tradisional
diyakini tidak terlepas dari peranan penting tokoh legendaris
Mpu Kuturan sebagai senopati dan pemimpin lembaga majelis pemerintahan
pusat yang diberi nama Pakira-kiran ijro Makabehan. Pelaksanaan
musyawarah besar tersebut mungkin karena adanya suatu kondisi
sosial keagamaan yang perlu segera ditangani agar tercapainya
ketentraman dalam kehidupan masyarakat.
Seperti disebutkan oleb R. Goris pada masa Bali
Kuna berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian.
Ada sembilan sekte yang pernah berkembang pada masa Bali Kuna
antara lain sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa,
Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Diantara sekte-sekte
tersebut Çiwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat dominan
(Ardhana 1989:56). Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewa tertentu
sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa
(simbol) tertentu serta berkeyakinan bahwa istadewatalah yang
paling utama sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah.
Berkembangnya keyakinan yang bersifat sektarian
berpotensi memunculkan ketegangan dan konflik dalam kehidupan
sosial keagamaan dan akhirnya akan dapat berpengaruh terhadap
stabilitas suatu negara. Menyadari keadaan yang kurang stabil
akibat berkembangnya berbagai sekte, maka raja suami istri Gunapriyadharmapatni
dan Udayana berusaha untuk mengatasinya melalui musyawarah dan
mendatangkan beberapa tokoh rohaniawan baik dari Bali maupun Jawa
Timur.
Karena Gunapriyadharmapatni adalah putri raja
Makutawangsawardana dari Jawa Timur, maka beliau sangat mengenal
Tokoh-tokoh rohaniawan dari Jawa Timur yang diperkirakan dapat
mencarikan jalan keluar dalam menghadapi berbagai gejolak.
Pada waktu itu di Jawa Timur terkenal ada 5 Pendeta
bersaudara yang sering dijuluki "Panca Pandita" atau
Panca Tirta. Kelima Pendeta bersaudara itu ialah :
Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya dan Mpu Baradah,
Empat di antara kelima Pendeta itu didatangkan ke Bali secara
berturut-turut yaitu:
- Mpu Semeru datang di Bali pada tahun saka 921 (999m) berparhyangan
di Besakih.
- Mpu Ghana datang pada tahun saka 922 (1000) beparhyangan di
Gelgel.
- Mpu Kuturan datang pada tahun saka 923 (1001) berparhyangan
di Cilayuti Padangbai.
Kemudian Mpu Gnijaya datang pada tahun saka 928 (1006) berparhyangan
di Lempuyang (Bukit Blibis) (Soeka, 1986 :5).
Mengingat pengalaman Mpu Katuran yang pernah menjadi Kepala Pemerintahan
di Girah dengan sebutan Nateng Dirah, maka diangkatlah Beliau
sebagai Senopati dan sebagai Ketua Majelis Pakira-kiran ijro Makabehan
oleh Gunapriyadharmapatni. Melalui posisi yang dipegang itulah
Mpu Kuturan melaksanakan musyawarah bagi sekte keagamaan yang
berkembang di Bali bertempat di Pura Penataran yang kemudian untuk
memperingati peristiwa besar tersebut puranya diberi nama Samuantiga.
Sejak itulah kemungkinan nama pura Samuantiga tetap terpakai seperti
disebutkan dalam lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul di atas.
Kedatangan Mpu Kuturan ke Bali menjadi tonggak pemersatu sekte-sekte
Hindu yang pernah berkembang dan didominasi oleb sekte Siwa Sidhanta.
Untuk menyatukan semua sekte Mpu Kuturan memperkenalkan konsep
Tri Murti yang di Jawa dimanifestasikan dalam bentuk Candi seperti
Candi Loro Jonggrang (Prambanan) dimana melalui Candi tersebut
di puja Dewa Brahma, Wisnu dan Çiwa dengan bangunan candi
tersendiri.
Konsep Tri Murti yang diperkenalkan oleh Mpu Kuturan kemudian
diterapkan dalam pola Desa Pekraman dengan pendirian pura Kahyangan
Tiganya untuk sebuah desa. Bagi setiap keluarga diterapkan pembangunan
Sanggar Kemulan Rong Tiga dengan didukung berbagai pedoman kehidupan
keagamaan lainnya. Mpu Kuturan disamping ahli dalam Rajaniti (hukum
pemerintahan) Beliau Juga sebagai tokoh yang sempurna dalam falsafah
keagamaan sebagai arsitektur agung yang berlandaskan ajaran agama
terutama dalam penataan pura-pura di Bali) termasuk Besakih. Di
dalam lontar Raja Purana tertera ajaran Mpu Kuturan dalam penataan
kehidupan keagamaan sebagai berikut:
........ Ngararis nangun catur agama, catur
lokita bhasa, catur sila makadi ngawangun sanggah kamulan) ngawangun
Kahyangan Tiga: Pura Dalem, Puseh mwang Bale Agung,
>> Terjemahannya:
........ Selanjutnya (Mpu Kuturan) menerapkan empat peraturan
agama, empat cara berbahasa, empat ajaran pokok dalam kesusilaan,
termasuk membuat Sanggah Kemulan, Kahyangan Tiga : Pura Dalem,
Puseh dan Bale Agung (Nala, 1997:3-6).
Dan uraian singkat di atas dapatlah disimpulkan bahwa pura Samuantiga
yang kita kenal sekarang ini telah mengalami proses sejarah yang
cukup panjang dan pengembangan struktur pura sesuai dengan tuntutan
jaman. Pendirian pura ini pada awalnya adalah sebagai pura Penataran
masa Bali Kuna, kemudian dijadikan tempat perternuan tokoh-tokoh
agama khususnya Ciwa Budba dan Bali Aga yang berhasil menyepakati
penerapan konsep Tri Murti dalam kehidupan Desa Pekraman dan rumah
tangga di Bali. Secara sosial hal ini sebagai media pemersatu
bagi seluruh umat yang berlandaskan rasa kebersamaan dan bhakti
sehingga terwujudlah kesukertaan di masing-masing Desa. Sehingga
dapatlah dikatakan bahwa pura Samuantiga merupakan cikal bakal
dari adanya Desa Pekraman dan Kahyangan Tiga sebagai penerapan
konsep Tri Murti di Bali.
Di samping makna sejarah seperti di uraikan di atas kata Samuantiga
dapat pula ditelusuri melalui makna filosofinya yang juga berarti
bahwa sejak adanya musyawarah tersebut terjadi peningkatan kwalitas
kehidupan beragama khususnya dalam hal pemahaman filsafah agamanya.
Dari pemujaan pada istadewata yang berdiri sendiri menuju pada
pemujaan Tuhan /lda Sanghyang Widhi melalui ketiga aspeknya yaitu
Tri Murti sebagai satu kesatuan yang tebih dikenal sebagai bersifat
eka-aneka, Hal ini merupakan proses, rekonsiliasi atau revitalisasi
dalam kehidupan keagamaan Hindu di Bali.
Penyempurnaan kehidupan beragama di Bali memang senantiasa terus
tumbuh berkembang, namun senantiasa dilaksanakan secara damai
dan musyawarah dengan kedatangan berbagai tokoh agama seperti
Mpu Lutuk, Danghyang Nirarta dan lain-lainnya.
Beliau-beliau inilah melakukan penataan kembali secara bertahap
dan bersifat akomodatif yang berarti tidak mengabaikan tradisi
yang sudah tumbuh dan berkembang secara baik, Peristiwa dan tokoh-tokoh
agama yang telah berhasil menata kehidupan keagamaan di Bali sepatutnya
dijadikan contoh dan suri tauladan dalam kehidupan keagamaan sekarang
ini sehingga dapat terciptanya konsolidasi yang mantap dalam kehidupan
masyarakat (Ida Pedanda Putra Kemennh. 1977: 8-9). Keberadaan
pura Samuantiga terus tumbuh dan berkembang dengan segala pasang
surutnya sesuai dengan perkembangan kehidupan sosial budaya umat
Hindu di Bali. Setelah Bali memasuki kehidupan dalam sistim kerajaan
keberadaan pura Samuantiga menjadi tanggungjawab raja-raja Bali
melalui pengenaan pajak tiga sana atau sawinih kepada seluruh
petani atau umat Hindu di Bali. Menurut informasi Gusti Agung
Gede Putra (almarhum) kerajaan Mengwi pada sekitar tahun 1817
pernah melaksanakan upacara besar di pura Samuantiga.
Pada masa selanjutya, sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat
keberadaan pura Samuantiga menjadi tanggung iawab Raja Gianyar.
Namun suatu hal tanggung jawab tersebut kemudian dilimpahkan kepada
keluarga Pemangku untuk memelihara dan melaksanakan upacara di
pura Samuantiga melalui hasil laba pura. Karena hasil laba pura
tidak memadai, tanggung jawab tersebut kemudian diserahkan kepada
masyarakat sekitar tahun 1963 yang kemudian dibentuk kepanitian
di bawah pimpinan I Wayan Limbak. Masyarakt pengemong terdiridari
6 Desa Adat atau 12 Banjar, namun sebagai penyungsung terdiri
dari seluruh umat Hindu dimanapun mereka berada Hal ini karena
pura Samuautiga seperti disebutkan di atas sebagai pura Kahyangan
Jagat yaitu sebagai cikal bakalnya Pura Kahyangan Tiga di setiap
Desa pekraman dan pemerajan di setiap keluarga sebagai tempat
memuja Dewa Tri Murti manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
|